oke men. kali ini gue mau bahas latar belakang atau kisah hidup para personil Superman Is Dead (SID). SID itu apa sih,?? SID itu adalah sebuah grup musik dari Bali, bermarkas di Poppies Lane II - Kuta. grup musik ini beranggotakan tiga pemuda asal Bali, yaitu: I Made Putra Budi Sartika alias Bobby Kool sebagai gitaris dan vokalis, I Made Eka Arsana alias Eka Rock sebagi bassis, dan I Gede Ari Astina alias Jerinx (JRX) sebagai drummer.
Superman Is Dead yang biasanya dipanggil SID terbentuk pada tahun 1995. Awal mula terbentuknya SID (Superman Is Dead) dimotori oleh anggota band heavy metal Thunder bernama Jerinx yang ingin membentuk band baru. dan drummer band new wave punk Diamond Clash bernama Bobby Kool ingin menjadi gitaris dan vokalis.
Jerinx dan Bobby bertemu di Kuta Bali. Kedua orang itu kemudian sepakat untuk membentuk sebuah band. pada saat itu bergabung pula I Made Bawa yang lebih dikenal dengan nama lain Lolot mengisi posisi pemain bass. Band mereka pada awalnya membawakan lagu-lagu dari Green Day. tidak lama setelah band terbentuk Lolot keluar dari band dan memutuskan untuk berkonsentrasi pada proyek band yang lain. kelak Lolot akan lebih dikenal sebagai musisi lagu-lagu berbahasa Bali. Kekosongan sesi bass akhirnya diisi oleh personel baru yang bernama Eka Arsana atau Eka Rock. pada saat itu band belum bernama Superman Is Dead tetapi Superman Is Silver Gun. Pada perkembangannya nama Superman Is Silver Gun dirasa kurang cocok, selain merupakan comotan judul sebuah lagu dari kelompok musik Stone Temple Pilots juga kurang memiliki makna. Bergantilah nama band mereka menjadi Superman Is Dead atau disingkat SID. Superman Is Dead mempunyai arti yaitu bahwa manusia yang sempurna hanyalah illusi belaka dan imajinasi manusia yang tidak akan pernah ada.
- Tukang Rakit
Bobby Kool tinggal di Jl Padma, sekitar Kampus Universitas Ngurah Rai, Denpasar Timur. Rumah kontrakan seluas 2,8 are ini, kata Bobby, hasil main band dan jualan baju.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit sepeda men. Dia mengaku merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia lakukan hingga saat ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya sepedanya sekarang yang dia pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit sendiri dari rongsokan seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia sambil menunjukkan foto rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit sepeda men. Dia mengaku merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia lakukan hingga saat ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya sepedanya sekarang yang dia pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit sendiri dari rongsokan seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia sambil menunjukkan foto rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Rongsokan itu kemudian dia rakit sendiri dengan tambahan perangkat lain, seperti setir, sadel, pedal, dan seterusnya. Total habis sekitar Rp 2 juta. anjiirrr,!!! jatuhnya mahal juga, Bli. haha..
Selain hobi merakit sepeda, dan tentu saja gowes, Bobby juga suka mendesain. Karena itu dia juga memproduksi pakaian dengan label sendiri, Electrohell. Label ini dia buat bersama Rizal Tanjung, temannya sesama surfer. Sebelum total main musik, Bobby memang surfer. Dia juga membuat desain pakaian surfing sebelum total main musik di SID dan membuat label sendiri.
Bobby juga bercerita SID dulu main dari konser ke konser tanpa bayaran sama sekali. “Dulu diajak main saja sudah senangnya bukan main,” katanya. Honor profesioanl mereka pertama kali adalah ketika tampil di acara Granat, konser ala mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali.
Waktu itu SID dibayar Rp 400.000. “Pas terima duit itu senangnya bukan main. Waah, bisa juga dapat duit dari tampil,” kata Bobby.
Tapi itu dulu. Sekarang tarif manggung SID antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Tapi, tarif ini sangat bisa dinego. Kalau acaranya besar plus banyak sponsor, mereka memang pasang tarif segitu. Kalau acaranya amal, mereka bersedia datang meski hanya dibayar sebotol bir atau setangkai mawar. haha..
- Tukang Oprek
Selama sekitar 18 tahun membangun band, kini personil SID menerima hasilnya. Begitu pula Eka dengan Harley Davidsonnya. toh, dia mendapatkan itu semua karena sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras.
Tiap kali melihat SID tampil, gue merasa Eka berperan seperti joker, tukang bikin suasana jadi lebih kocak. dia menghidupkan suasana dengan omongan-omongannya, terutama dalam bahasa balinya haha..
Namun, pada sesi foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat serius dengan menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan minatnya, internet dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor penggunaan internet di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan programming dan coding. Maklum, saat itu dia bekerja sebagai desainer www.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia disuruh mengelola website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar tentang program, coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam bahasa pekerja teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut ngoprek.
Hasilnya, dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai coding. Eka pula yang membuat website www.supermanisdead.net. “Sampai sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari teman-teman,” katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya usaha sendiri di www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia satu-satunya personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi kasian kalau sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,” katanya.
Eka lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras. Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie. hebat,!!! salut sama om eka..
Tiap kali melihat SID tampil, gue merasa Eka berperan seperti joker, tukang bikin suasana jadi lebih kocak. dia menghidupkan suasana dengan omongan-omongannya, terutama dalam bahasa balinya haha..
Namun, pada sesi foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat serius dengan menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan minatnya, internet dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor penggunaan internet di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan programming dan coding. Maklum, saat itu dia bekerja sebagai desainer www.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia disuruh mengelola website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar tentang program, coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam bahasa pekerja teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut ngoprek.
Hasilnya, dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai coding. Eka pula yang membuat website www.supermanisdead.net. “Sampai sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari teman-teman,” katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya usaha sendiri di www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia satu-satunya personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi kasian kalau sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,” katanya.
Eka lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras. Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie. hebat,!!! salut sama om eka..
- Tukang Ojek
Selama mengenal SID dari media atau cerita teman, Jerinx jadi sosok paling identik dengan SID. Dalam beberapa kesempatan diskusi tentang SID yang gue ikuti, Jerinx hadir mewakili SID. Jadi, kesan dia sebagai 'frontman' memang tak terhindarkan.
Lewat status di Facebook ataupun twit personalnya, Jerinx paling sering mengangkat isu yang bagi banyak orang mungkin kontroversial. Misalnya, radikalisme, kelompok gay dan lesbian, agama, politik dan semacamnya.
Namun, selama beberapa hari melakukan reportase tentang SID, gue menangkap hal totally different dari sosok paling gahar dan sangar di SID ini.
Hal yang membuat gue salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih naik motor butut Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih. Motornya juga agak dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat kami bertemu di Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band dengan fans mencapai 1,8 juta orang plus image tentang anak band yang bagi banyak orang adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung biasa saja. Dia lebih mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta umat. hehe..
Di luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan label Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang di Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat jembatan Tukad Campuhan.
Jerinx pernah jadi vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat binatang disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging lagi. “Tidak kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama saat konser,” katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan berkaki empat, seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini biasanya dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku dan pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan Jerinx itu kian menguatkan pendapat gue tentang SID dan para personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja..
Lewat status di Facebook ataupun twit personalnya, Jerinx paling sering mengangkat isu yang bagi banyak orang mungkin kontroversial. Misalnya, radikalisme, kelompok gay dan lesbian, agama, politik dan semacamnya.
Namun, selama beberapa hari melakukan reportase tentang SID, gue menangkap hal totally different dari sosok paling gahar dan sangar di SID ini.
Hal yang membuat gue salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih naik motor butut Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih. Motornya juga agak dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat kami bertemu di Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band dengan fans mencapai 1,8 juta orang plus image tentang anak band yang bagi banyak orang adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung biasa saja. Dia lebih mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta umat. hehe..
Di luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan label Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang di Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat jembatan Tukad Campuhan.
Jerinx pernah jadi vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat binatang disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging lagi. “Tidak kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama saat konser,” katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan berkaki empat, seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini biasanya dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku dan pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan Jerinx itu kian menguatkan pendapat gue tentang SID dan para personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja..





0 komentar:
Posting Komentar